Lembaga Eksekutif
Eksekutif
berasal dari kata eksekusi (execution) yang berarti pelaksana. Lembaga
eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif
biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Eksekutif merupakan pemerintahan dalam
arti sempit yang melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan haluan negara, untuk mencapai
tujuan negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasinya adalah kabinet
atau dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin departemen dalam
melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
Menurut
tafsiran tradisional azas Trias Politica yang dicetuskan oleh
Montesquieu, tugas badan eksekutif hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang
telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang
yang dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya badan
eksekutif leluasa sekali ruang-geraknya. Zaman modern telah menimbulkan
paradoks, bahwa lebih banyak undamg-undang yang diterima oleh badan legislatif
dan yang harus dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup
kekuasaan badan eskekutifnya.
Secara umum arti lembaga eksekutif
adalah pelaksanaan pemerintah yang dikepalai oleh presiden yang dibantu
pejabat, pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Sedangkan wewenang menurut
Meriam Budiardjo mencangkup beberapa bidang: Diplomatik:
menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya. Administratif:
melaksanakan peraturan serta perundang-undangan dalam administrasi negara. Militer:
mengatur angkatan bersenjata, menjaga keamanan negara dan melakukan perang bila
di dalam keadaan yang mendukung. Legislatif: membuat undang-undang
bersama dewan perwakilan. Yudikatif:memberikan grasi dan amnesti.
Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif
ini garis besarnya adalah : Chief of
state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Dispenser of
appointments, dan Chief legislators.
- Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
- Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan.
- Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu.
- Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer.
- Dispenser of Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.
- Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
KEKUASAAN
EKSEKUTIF DALAM AJARAN TRIAS POLITIKA
Biasanya,
dalam sistem politik, struktur dibedakan atas kekuasaan
eksekutif,legislatif,dan yudikatif. Ini menurut ajaran trias politika, meskipun
tidak banyak negara yang menerapkan ajaran ini secara murni. Dalam
perkembangannya, negara-negara demokrasi modern cenderung menggunakan asas
pembagian kekuasaan dibandingkan dengan menggunakan asas pemisahan kekuasaan
murni sebagaimana diajarkan oleh John Locke, kekuasaan negara dibagi menjadi
tiga yakni kekuasaan legislatif,kekuasaan eksekutif,dan kekuasaan federatif.
Masing-masing kekuasaan ini terpisah satu dengan yang lain.
Kekuasaan eksekutif merupakan
kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasan
mengadili. Miriam Budiardjo mengatakan,”Tugas badan eksekutif menurut tafsiran
tradisional trias politika hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang
dibuat oleh badan legislatif”.
Eksekutif berasal dari bahasa Latin,
execure yang berarti melukakan atau melaksanakan. Kekuasaan eksekutif
biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di negara demokratis, badan eksekutif
biasanya terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden. Badan eksekutif
dalam arti luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.
Dalam sistem presidensial mentri-mentri
merupakan pembantu presiden dan dipilih olehnya, sedangkan dalam sistem
parlamenter para mentri dipimpin oleh seorang perdana mentri.
Tipe Lembaga
eksekutif terbagi menjadi dua, yakni:
1. Hareditary
Monarch yakni pemerintahan yang kepala negaranya dipilih berdasarkan keturunan.
Contohnya adalah Inggris dengan dipilihnya kepala negara dari keluarga
kerajaan.
2.
Elected
Monarch adalah kepala negara biasanya president yang dipilih oleh badan
legislatif ataupun lembaga pemilihan.
Sistem Lembaga
Eksekutif terbagi menjadi dua:
1. Sistem
Pemerintahan Parlementer Kepala negara dan kepala pemerintahan terpisah.
Kepala pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, sedangkan kepala
negara dipimpin oleh presiden. Tetapi kepala negara disini hanya berfungsi
sebagai simbol suatu negara yang berdaulat.
2.
Sistem
Pemerintahan Presidensial Kepala pemerintahan dan kepala
negara, keduanya dipengang oleh presiden.
Kekuasaan eksekutif dipengaruhi oleh:
1. Sistem pemerintahan
·
Presidensiil.
Hubungan di dalam sebuah trias politika tidak dapat saling menjatuhkan. Cth:
Indonesia 2004- sekarang.
·
Parlementer.
Ada bagian di dalam sebuah trias politika yang dapat menjatuhkan bagian lain,
yaitu legislatif terhadap eksekutif riil. Cth: Indonesia pada era parlementer.
·
Presidensiil
semu: eksekutif tidak dapat di jatuhkan oleh pengemban
kekuasaan legislatif. Namun ironisnya, ada lembaga tertinggi negara
yang notabene adalah bagian dari legislatif dan dapat menjatuhkan eksekutif.
Cth: Indonesia pada masa Orde Baru.
·
Parlementer
semu: eksekutif riil merupakan bagian dari legislatif karena ia dipilih oleh
legislatif (parlemen) dan konsekuensinya ia dapat dijatuhkan parlemen. Namun,
parlemen ternyata dapat juga dibubarkan oleh eksekutif, tepatnya eksekutif
nominal. Cth: Perancis, dimana PM dapat dipecat parlemen, dan parlemen dapat
dibubarkan presiden sekaligus mempercepat pemilu legislatif.
2.
Jenis eksekutif
·
Eksekutif
riil adalah bagian dari eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan. Cth:
kepala pemerintahan.
·
Eksekutif
nominal adalah bagian dari eksekutif yang menjalankan kekuasaan simbolik dan
seremonial. Cth: kepala negara.
3. Fungsi dasar eksekutif
·
Kepala
negara. Tugas utama: menjadi simbol negara dan memimpin kegiatan seremonial
kenegaraan.
·
Kepala
pemerintahan. Tugas utama: memimpin kabinet (menjalankan pemerintahan).
4. Konsekuensi dari implementasi prinsip kekuasaan yang mempengaruhi pola
hubungan dalam trias politika.
·
Pemisahan
kekuasaan.
·
Pembagian
kekuasaan.
5. Asas pemerintahan yang diaplikasikan eksekutif
·
Sentralisasi,
desentralisasi, dekonsentrasi, medebewind.
PERKEMBANGAN
KEKUASAAN EKSEKUTIF D INDONESIA MASA ORDE LAMA
Orde
lama adalah sebutan bagi orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap
tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang
ditandai dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan
Soekarno. Presiden Soekarno sebagai tokoh sentral orde lama adalah Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan, bahkan ia bertindak sebagai pemimpin besar
revolusi.
Kekuasaan Eksekutif Masa Demokrasi Kontitusional
(1945-1959)
Sistem parlementer yang mulai
berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam
Undang-Undang Dasar 1949 ,dan1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia
meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain.
Persatuan yang dapat digalang untuk salalu menghadapi musuh bersama menjadi
kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah
kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer
memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan
berlakunya sistem parlementer di mana
badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai
kepala negara konstitusional dan mentri-
mentrinya mempunyai tanggung jawab politik. Karena
fragmentasi partai-partai politik setiap kabinet berdasarkan koalisi yang
berkisar pada pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil.
Koalisi ternyata kurang mantap dan
partai-partai dalam koalisi sewaktu-waktu tidak segan menarik dukungannya. Di
lain phak partai oposisi, tidak mampu berperan sebagai oposisi yang kontruktif,
tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.
Umumnya kabinet dalam masa pra
pemilu yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari
rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan
politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan
programnya. Pun pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapakan,
bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah
pusat dan beberapa daerah.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah
dengan tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang tidak tergabung dalam
konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk Undang-undang
Dasar baru, mendorong Ir. Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini
menjadi awal dari masa demokrasi terpimpin yang menggantikan masa demokrasi
kontitusional.
Kekuasaan Eksekutif Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Dengan dalih deadlock dan
oleh sebab itu kembali ke UUD 1945 yang yang dianggap satu-satunya jalan
keluar, maka kepemimpinan soekarno sebagai kepala negara tidak terbatas,
apalagi MPRS tidak berfungsi, kecuali dalam melegalisasi "kebijakan"
yang diambil presiden, bahkan telah mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur
hidup, sedangkan DPR produk Pemilu I dibubarkan melalui Dekrit presiden 5 Juli
1959. Dekrit presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk
mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan
yang kuat.
Mulai Juni 1959 UUD 1945, berlaku kembali dan
menurut ketentuan UUD 1945 itu badan eksekutif terdiri atas seorang
presiden,wakil presiden beserta mentri-mentri. Kekuasaan eksekutif diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Bab III pasal 4 samapai dengan 15.
Mentri-mentri membantu presiden dan diangkat
serta dihentikan olehnya. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dan
presiden merupakan “Mandataris” MPR. Ia bertanggung jawab kepada MPR dan
kedudukannya untergeordnet kepada MPR.
Presiden memegang kekuasaan pemerintah
selama lima tahun yang hanya dibatasi oleh peraturan-peraturan dalam UUD 1945
dimana sesuatu hal diperlukan adanya suatu undang-undang. Selama masa itu
presiden tidak boleh dijatuhkan oleh DPR, sebaliknya presiden tidak mempunyai
wewenang untuk membubarkan DPR.
Presiden memerlukan persetujuan dari
DPR untuk membentuk Undang-Undang dan utuk menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian-perjanjian dengan negara lain. Dalam keadaan memaksa
presiden menetapakan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, maka
peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujauan DPR.
Selain itu presiden berwenang
menetapakan Peraturan Pemerintah untuk menalankan Undang-Undang sebagaiman
mestinya dan presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkata darat,
angaktan laut, dan udara.
Pada masa demokrasi terpimpin
terjadi dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik,
berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial
politik. Dalam masa demokrasi terpimpin tidak ada wakil presiden. Sesuai dengan
keinginannya untuk memperkuat kedudukannya oleh MPRS ditetapkan sebagai
presiden seumur hidup. Begitu pula dengan pejabat teras dari Legislatif (yaitu
pimpinan MPRS dan DPR Gotong Royong) dan dari badan Yudikatif (yaitu ketua
Mahkamah Agung) diberi status mentri. Dengan demikian jumlah mentri lebih dari
seratus.
Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan
rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol
ditiadakan. Bahkan pemimpin DPR dijadikan mentri dan dengan demikian ditekankan
fungsi pembantu presiden, di samping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir
ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politika.
Penyimpangan lain dalam demokrasi
terpimpin adalah campur tangan presiden dalamm bidang Yudikatif seperti
presiden diberi wewenang untuk melakukan intervensi di bidang yudikatif
berdasarkan UUD No.19 tahun 1964 yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan Presiden No.14 tahun 1960
dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu
rancangan Undang-Undang.
Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana pelbagai
tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Panpres) yang
memakai Dekrit 5 Juli 1959 sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan
badan-badan ektra kontitusional seperti front nasional yang ternyata dipakai
oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai denga taktik komunisme
internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke
arah terbentuknya demokrasi rakyat.
Partai politik dan pers dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak
dibenarkan, dan ditutup, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar
negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi
bertambah suram. Pada masa orde lama terjadi persaingan antara Angkatan Darat,
Presiden, dan PKI. Persaingan ini mencapai klimaks dengan meletusnya perisiwa
Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh PKI. Ketika itu bangsa Indonesia
didominasi oleh partai komunis yang sangat kuat.
Awal Orde Baru
Peristiwa Gerakan 30 September
PKI mengakhiri masa Demorasi Tepimpin yang dengan demikian masa orde lama pun
berakhir. Malalui ketetapan MPRS No.II tahun 1667, jabatan Presiden selaku
pemegang kekuasaan pemerintahan negara dicabut dari tangan Bung Karno. Dengan
ketetapan MPRS No.XXXXIV tahun 1968, Jendral Soeharto dipilih MPRS sebagai
presiden. Dengan demikian, masa orde lama berganti dengan masa orde baru dengan
Soeharto sebagai aktor utamanya.
SUMBER
REFERENSI
1.
Budiardjo, Miriam.2009.Dasar-dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
2.
Kansil, C.S.T.1981.Sitem Pemerintahan Indonesia.
Jakarta: Aksara Baru
3.
Saleh, Hassan.2009. Pendidikan Kewarganegaraan.
Jakarta: Audi Grafika
4.
Tamin, Azian dan Azran Jalal, et. al.2005. Profil
Politik Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Pusat Studi Politik Madani
Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar